Berdamai dengan Duka Cita
Di penghujung tahun 2022, tepatnya pada 18 Desember, 2022 Ayahku meninggal dunia. Sebuah berita mengejutkan yang mampu membuatku terdiam, tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam menghadapi hal tersebut. Rasanya kenangan itu masih segar di kepala dan aku masih ingat betul bagaimana kejadian itu terjadi. Di hari minggu pagi yang cerah, aku terbangun dari tidur sekira pukul 9 pagi. Kala itu, ada missed call dari ibuku dan tak berselang lama, notifikasi WhatsApp dari grup keluarga mulai membanjiri hp-ku. Aku yang baru saja terbangun mulai membaca pesan-pesan tersebut secara perlahan.
Singkat cerita, sejauh yg aku baca di grup keluarga, pagi itu keluarga kami punya agenda untuk buka outlet di bazaar komplek. Biasanya yg menyiapkan semua barang adalah karyawan keluarga kami. Namun kala itu, ayah berinisiatif untuk mempersiapkan gerobak dan mendorongnya sampai ke lokasi bazaar. Sepenglihatan warga komplek, ayahku sudah terlihat kelelahan sampai tubuhnya dibanjiri keringat. Namun ayahku pantang menyerah, ia terus mendorong gerobak tersebut, hingga akhirnya terjatuh hampir pingsan. Lalu dilarikannya ayah ke masjid. Beliau diberikan minum dan dipersiapkan untuk pergi ke rumah sakit. Kebetulan, komplek rumah kami dulu punya ambulance pribadi. Namun karena birokrasi yg agak ribet, ayah tidak bisa langsung diberangkatkan ke RS dan harus menunggu sekian jam untuk dapat persetujuan dan kunci mobil ambulance.
Setelah menunggu lama, akhirnya ayahku dapat dilarikan ke rumah sakit. Kemudian keluargaku mulai menjenguk ke RS untuk melihat keadaan ayah.
Di grup keluarga, kakakku sempat memotret ayah yg sedang terbaring lemas di kasur RS. Saat itu, keadaan ayah mulai membaik, ayah sempat mengobrol dengan temannya di Bogor. bahkan ibuku pun kembali pulang ke rumah karena melihat ayah sudah cukup stabil. Hingga pada akhirnya, yg berjaga tinggal kakakku tertua dan abangku. Tak lama, kakakku perlu pulang dan ayahku dititipkan ke abang. Di saat itu lah, ketika kakak pertama pamit, dan tak berselang lama abangku ijin solat dhuha ke ayah, saat semua orang tidak ada di kamar tersebut, ayahku mengalami serangan jantung.
Menurut pengakuan abangku, saat ia turun ke arah musholla ia melihat keranda sedang dibersihkan. Intuisinya berbunyi. Benar saja, momen disaat abangku turun ke musholla tepat disaat ayahku mengalami serangan jantung yang kedua kali. Sayangnya, dokter tidak bisa menghubungi keluarga karena tidak ada keluarga yg berjaga di tempat. Saat abang menuju kamar kembali, dokter langsung mengabarinya untuk menghubungi pihak keluarga yg lain, karena ayahku mengalami serangan jantung dan butuh persetujuan tindakan dari keluarga. Saat itu, aku sempat mengangkat telepon dan sudah memantau keadaan ayah. Setelah memutuskan tindakan apa yg ingin disetujui keluarga, dokter pun memulai tindakan tsb.
Aku, di dalam kamar kosan mulai merasa gelisah, menunggu harap-harap cemas kabar tentang ayahku. Saat menunggu kabar, tiba-tib saja aku mulai mengaplikasikan cara berserah diri dan mengontrol diriku dengan konsep filosofi teras. Membayangkan hal terburuk terjadi dan berusaha untuk menerima segala hasil yang akan terjadi. Tak lama kemudian, kakak pertamaku mengirim pesan di grup keluarga.
"Innalillahi wa innailaihi rojiun, abi sudah meninggal"
Aku terpaku melihat isi pesan tersebut. Terdiam lama hingga akhirnya air mataku menetes dengan sendirinya.
Anehnya, aku tidak merasa marah, kesal, atau apapun yang negatif. Pada momen itu, aku menangis dalam keadaan ikhlas. Mengikhlaskan ayahku yang telah pergi dengan damai. Aku terus menangis dan melepaskan kesedihan, lalu aku terdiam kembali, mengatur nafas, dan mengelap airmataku.
"Aku harus pulang ke Bekasi" Ujarku dalam hati
Aku pun mulai menata hatiku perlahan. Bersiap" ke laundry, sarapan, lalu menyiapkan baju dan berkemas. Kalau diingat-ingat lagi, aku bahkan masih heran pada diriku sendiri. Aku masih mampu mengendarai motor dengan fokus, mengisi bensin motor, hingga makan dengan ditemani air mata yang menitik tiba-tiba. Rasanya aku ingin berterima kasih banyak-banyak pada diriku.
"Pau, terima kasih kamu telah tegar dan ikhlas menerima keadaan ini."
Aku pulang ke Bekasi secepat yang aku bisa. Syukurnya, aku masih dapat tiket pukul 15:15. Perjalanan pulang rasanya aneh dan asing sekali. Bukan perasaan bahagia, namun perasaan duka yang terus menyelimuti diriku. Disepanjang pernerbangan, aku terus termenung dan nangis tiba-tiba di kursi pesawat. Menangis dalam diam di perjalanan pulang itu rasanya sangat menyesakkan. Perasaanku carut marut dan lebih sering melamun. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirim doa dan membaca yasin untuk ayahku. Berjaga-jaga kalau memang aku tidak sempat untuk membawanya sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku akan bantu doakan selama di perjalanan. Betul saja, pesawatku landing terlambat, dan ayah sudah dikubur.
Maghrib itu, aku coba usahakan untuk menyapa ayah ke kuburannya. Sesampainya di sana, aku mulai benar-benar melepaskan kepergian ayah dan berdoa kembali. Oh iya, saat aku hendak pulang, ada kucing penjaga TPU menghampiri kami (aku, dkk). Terima kasih ya, meng udah menyapa. Titipkan salam rinduku untuk ayah.
Abi, maaf aku tidak ada di lokasi saat abi harus pergi dari dunia ini.
Maaf, aku masih banyak mengecewakan abi bahkan sampai akhir hayatmu.
Rasanya momen kita masih belum banyak, bi.
Tapi tak apa, segala pelajaran darimu, aku coba pelajari dan pahami.
Terima kasih ya bi, sudah memberikan buku-buku yang bermanfaat untukku. Kamu tau bagaimana caranya mendekatkan diri padaku. Iya, melalui buku-buku itu. Nanti aku baca satu persatu yaa. Oh iya, terima kasih sudah memberika buku bacaan dzikir. Jujur, aku jarang baca kala itu. Namun akhir-akhir ini, aku mencoba akrab dengan buku itu. Tenang di surga ya, abi. Salam rinduku untukmu.. 🌹
Komentar
Posting Komentar
Jika artikel ini bermanfaat, silakan Anda share dan jangan lupa untuk menautkan link blog ini ya :) Terima kasih.