Review Film Tabula Rasa (2014): Lika-Liku Kehidupan Perantau
Image by: Google |
Apa jadinya, jika seorang calon atlit sepakbola, harus banting stir dan menemukan keahlian baru, yang tidak pernah ia sangka-sangka? Ya, dari seorang calon atlit sepakbola (namun gagal karena cidera) yang hampir putus asa, dan berniat untuk mengakhiri hidupnya, malah berakhir di rumah masakan padang.
Kisah ini dapat kamu saksikan di dalam film yang berjudul, "Tabula Rasa" yang telah rilis pada tahun 2014 lalu. Hmm.. kalau dilihat dari judul filmnya kok, gaada sangkut pautnya dengan sepakbola ya? Ada kok, itu bahkan menjadi latar belakang dari cerita film tersebut. Namun, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, film ini akan memperlihatkan bagaimana kehidupan Hans yang berubah 180 derajat pasca dirinya cidera kaki, dan akhirnya tidak bisa bermain bola lagi.
Hans (Jimmy Kobogau) adalah seorang pemuda Papua, yang gemar bermain sepakbola dan bercita-cita menjadi atlit profesional. Suatu hari, ia mendapatkan tawaran untuk menjadi atlit di pulau Jawa. Singkat cerita, ia berangkat ke pulau Jawa dengan api semangat yang membara. Namun ternyata nasib berkata lain, ia mengalami cidera, dan tidak bisa menjadi atlit. Di tengah keputus asaan itulah, ia bertemu dengan Mak (Dewi Irawan), yaitu pemilik rumah makan padang (Lapau).
Mak menyelamatkan Hans dari kegelapan. Di tengah perbedaan ras dan agama, keduanya dipersatukan oleh sebuah makanan. Perjalanan Hans dalam mengenal masakan padang, sangatlah menggugah selera. Penonton pun, seperti diajak untuk berkenalan lebih jauh mengenai apa yang terjadi, di balik dapur masakan padang yang lezat itu. Mulai dari tips memasak, tips memilih bahan, serta ajaran-ajaran dalam proses memasak, disampaikan dengan baik melalui pengambilan gambar yang ciamik.
Namun dibalik itu semua, tentu ada konflik-konflik lain yang terjadi pada setiap tokoh di dalam film tersebut. Semua menjadi rangkaian cerita yang sangat menarik sekali, bagi saya. Konflik-konflik tersebut disampaikan dengan rapi dan tidak membosankan. Walau pun begitu, ada beberapa kekurangan yang saya rasakan dalam film ini, yaitu:
- Di scene-scene awal, color gradingnya terlalu berwarna kuning, entah mengapa saya kurang sreg melihatnya, dan itu membuat warna Papua yang bersih nan indah, jadi kurang "Keluar" dengan baik. Di beberapa scene juga terdapat color grading yang terlalu over.
- Di scene-scene awal pula, Hans seperti masih kagok dalam memainkan perannya. Namun syukurnya, di scene-scene berikutnya, ia bisa masuk ke dalam karakter dengan sangat baik.
- Di scene terakhir, walaupun saya paham dengan endingnya, tapi sepertinya akan lebih menarik jika ada sedikit percakapan yang menjelaskan apa jalan yang akan Hans ambil. Agar film ini dapat disimpulkan secara penuh oleh para penonton. Namun, namanya juga film, tentu itu hak sutradara dan penulis sihh hehe.
By the way, kalau nanti teman-teman mau nonton atau sudah selesai nonton ini, saya ingin memberikan kesimpulan saya, dari ending yang saya tangkap:
Re: Tulisan di bawah ini agak spoiler, mohon tidak dibaca jika tidak ingin dan belum menontonnya.
Jadi, di scene akhir itu, akhirnya Hans kembali menemukan semangat hidup lagi, hal itu bisa dilihat bagaimana warna baju yang ia kenakan berwarna biru (sebelumnya ia mengenakan pakaian berwarna merah yg lusuh). Warna biru itu memberikan suatu makna "Kesegaran". Lalu, ketika menyebrang jalan, Hans pun akhirnya mengambil arah sebelah kanan (dari layar kamera) yang menunjukkan, bahwa ia sudah berada di jalan yang "Benar" dan siap menghadapi hidup yang baru dan mungkin, akan mencari jalan lain dalam mewujudkan mimpinya tersebut.
Intinya, film ini dapat memberikan kita gambaran bahwa, masa depan itu memang misteri. Pertemuan dan perpisahan adalah takdir, yang membawa kita ke sebuah petualangan baru dalam kehidupan. Dari pertemuan-pertemuan tidak terduga itu, kita juga diajarkan untuk berdamai dengan masa lalu dan bangkit kembali dari mimpi buruk tersebut. Film ini adalah refleksi diri bagi kita manusia.
Oiya, saya sempat penasaran, mengapa judulnya Tabula Rasa? Setelah saya telusuri, ternyata tabula rasa adalah sebuah teori yang banyak dipengaruhi oleh pandangan John Locke.
John Locke beranggapan bahwa, pikiran manusia ketika lahir itu, seperti "kertas kosong". Yaitu jiwa yang bersih dan suci. Namun, bagaimana kertas itu akan terisi, tentu sebuah kebebasan sang manusia tersebut dalam mengisi jiwanya. Yang mana, juga dipengaruhi oleh lingkungan, pengalaman, dan persepsi akan dunia di luar dirinya.
Waaahh menarik sekali ya? Sepertinya, sang pembuat film ingin menunjukkan proses Hans dalam menjalani hidup dan mengisi jiwanya kembali yang hampir mati. Juga termasuk proses Mak dalam berdamai dengan masa lalu.
Film ini menarik sekali untuk ditonton, khususnya bagi kamu yang merasa sedang putus asa atau mungkin sedang kehabisan bahan tontonan? Hehe. Btw, film Tabula Rasa ini disutradarai oleh Adriyanto Dewo dan penulis skenarionya adalah Tumpal Tampubolan. Saya pun baru menonton ini di Netflix, tempo hari. Jadi, buat kamu yang tertarik, bisa langsung cek filmnya di Netflix yaa! Atau bisa cek di platform film lainnya, hehee.
Beneran deh, film drama yang mengangkat tema tentang makanan itu adalah ide yang segar di perfilman Indonesia (Btw, ini film kuliner Indonesia pertama, lho.) Khususnya di tahun 2014. Karena sampai sekarang pun, di Indonesia masih sedikit sekali yang mengangkat tema drama & kuliner ke dalam sebuah film. Kalau kalian udah nonton film "Aruna dan Lidahnya" saya rasa, film ini juga menarik ditonton karena berfokus pada masakan padang. Rancak bana lahhh~
Oiya, mungkin next, saya akan mereview juga film "Aruna dan Lidahnya" hehe. Jadi, cukup sekian dulu review film kali ini. Terima kasih yaa, sudah membaca review saya.. Tinggalin jejak di kolom komentar yuk :) atau mungkin, mau berdiskusi? Saya persilakan.
Rating ala Papau: 8,3 - 10
Komentar
Posting Komentar
Jika artikel ini bermanfaat, silakan Anda share dan jangan lupa untuk menautkan link blog ini ya :) Terima kasih.